Minggu, 25 Oktober 2015

Digital Communication Surya University (Cerpen: Rencana Tak Terduga)


Aku terbangun dari mimpi indahku. Satu minggu lagi namaku berubah menjadi nyonya Kusuma. Dita Ariyanti seorang gadis yang terkadang labil sebentar lagi akan menikah. Ah, masih teringat jelas dalam anganku kejadian dua tahun lalu. Saat ia mengungkapkan isi hatinya bahwa ia mencintaiku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Tanpa fikir panjang, aku mengiyakan permintaannya. Karena aku tau betul bagaimana ia memperjuangkan cintanya kepadaku selama hampir enam bulan. Ia terus berusaha menghubungiku, membuka percakapan, mengajakku kencan, semua itu ia lakukan demi mendapatkan hatiku. Aku tidak pernah berfikir bahwa laki-laki yang pernah aku tolak cintanya hingga lima kali itu sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.

Berawal dari pertemuan singkat di lobby kantor, sepertinya ia mulai menaruh perasaan padaku. Pertemuan kami menjadi sangat sering tatkala kami dipertemukan dalam sebuah rapat di kantor. Dalam rapat itu, mata coklatnya selalu tertuju kepadaku, bahkan tak jarang tatapan kami saling bertabrakan di tengah rapat yang sedang berlangsung. Entah mengapa tak ada goncangan sedikitpun dari dalam hatiku ketika mata kami saling bertemu. Menurutku, tak ada yang spesial darinya. Tak ada yang menarik bagiku, mungkin karna ia bukan tipeku.Setiap hari ku habiskan hampir setengah hidupku di kantor. Kantor yang membuatku terkadang lupa untuk pulang. Kantor yang membuatku lupa untuk menghibur diriku sendiri. Hampir tak ada waktu untukku sejenak berlibur. Sabtu dan Minggu yang banyak orang bilang adalah weekend buatku sama saja. Aku tetap harus menyelesaikan pekerjaan kantorku di rumah. Entah apa yang membuatku mampu menjalani hal ini hingga satu tahun lamanya. Menyelesaikan semuanya dalam kesendirian, tanpa keluarga, tanpa orang tua, dan tanpa kekasih.Kekasih? Tiba-tiba aku teringat pertanyaan ibuku di ujung telfon minggu lalu.“Kamu kapan nikah nak? Mbok yo jangan kerja terus toh, kamu kan perempuan. Carilah laki-laki yang mau kerja untukmu nak.”Mendengar pertanyaan itu, hati ini serasa seperti tenggorokan yang tersedak makanan. Aku hampir tak bisa menjawabnya. Ya, memang sudah hampir dua tahun ku habiskan hidupku dengan kesendirian ini. Tanpa kekasih, tanpa laki-laki di sampingku. Buatku, tak ada yang lebih penting selain bisa memberikan sedikit hasil kerja kerasku kepada keluarga yang berada jauh di kota pahlawan sana. Sejak lulus kuliah, aku memang memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota. Aku mencoba peruntunganku sebagai sarjana ekonomi di berbagai perusahaan di Jakarta. Syukurlah, belum satu bulan aku tinggal di kota sejuta umat ini, aku sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan yang sudah cukup terkenal di ibukota. Jabatanku memang hanya seorang accounting, tapi aku sangat mencintai pekerjaanku.Hingga tak terasa satu tahun sudah aku menjalani pekerjaan yang sangat aku cintai ini. Bahkan mungkin beberapa orang menganggap aku sangat gila dengan pekerjaanku. Karena aku sering menghabiskan waktuku di kantor hingga pukul sembilan malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan kantorku. Sungguh bukan waktu yang baik untuk seorang wanita sepertiku untuk pulang ke kontrakan.  Tak jarang, satpam kantor menegurku “Neng, jam segini baru pulang? Emangnya ga takut ada preman?” aku hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman.Saat aku sedang berjalan menuju stasiun yang jaraknya tak jauh dari kantorku, tiba-tiba saja ada suara yang masuk ke dalam gendang telingaku “Ditaaa!!” aku seperti mengenali suara itu, suara berat nan berwibawa yang sering mendapatkan pujian saat rapat di kantor. Laki-laki itu adalah Deva Kusuma. Teman sekantorku yang sudah hampir dua minggu ini memberikan senyum dan tatapan yang berbeda setiap kali bertemu denganku.Mendengar suara itu, aku hanya menolehkan kepalaku ke belakang selama tak lebih dari lima detik. Aku tahu bahwa itu dirinya, aku terus melanjutkan langkahku menyusuri jalan setapak berwarna hitam putih ini. Namun suara itu kembali menggetarkan gendang telingaku, aku pun menghentikan langkahku sejenak hanya untuk menjawab suara itu “Apaan sih?” laki-laki itu langsung menarik gas sepeda motornya dan menghampiri tepat di sisi kanan tubuhku “Bareng yuk, dari pada lo pulang sendirian udah malem gini.” Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai tanda penolakan, namun ia terus membujukku untuk dapat pulang bersamanya. Tak tahu kenapa, hati ini luluh mendengar bujukannya. Mungkin karena saat itu aku sudah sangat lelah seharian bekerja dan ingin cepat sampai di rumah.Setelah sampai di depan rumah kontrakanku, ia berkata “Kalo pulang bareng gue aja ya, jangan sendirian. Bahaya.” Aku hanya mengacuhkan pesan singkatnya itu dan langsung berjalan menuju pintu rumahku. Aku tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi barusan. Aku langsung membersihkan tubuhku setelah seharian tak mendapatkan perhatian akibat pekerjaan yang begitu banyak di kantor. Tak ada lagi yang ingin ku lakukan di rumah selain beristirahat. Hanya rumah kontrakan kecil inilah tempatku biasa melabuhkan mimpi-mimpi. Tiba-tiba terlintas pertanyaan dalam benak, kapan aku bisa pindah dari rumah kecil ini ke rumah yang lebih besar dan membangun mimpi bersama lelaki idamanku. Ah sudahlah! Apa yang aku fikirkan? Aku harus segera tidur karena besok aku masih harus melanjutkan hidupku dengan segudang pekerjaan di kantor.Seperti biasa, pagiku selalu dihabiskan untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Masih dengan kendaraan yang sama setiap harinya, angkot dan kereta listrik commuter line dengan harga yang sangat murah. Aku hanya butuh mengeluarkan uang empat ribu rupiah untuk bisa sampai di kantor. Bukan uang yang besar jika dibandingkan dengan penghasilanku setiap bulannya. Aku lebih memilih menggunakan angkutan umum dari pada harus mengendarai sepeda motor setiap hari dan berjibaku dengan kemacetan ibukota. Rasanya aku tak sanggup.Hari ini, aku kembali dengan rutinitasku. Menyelesaikan pekerjaan di kantor, rapat, sekadar bertegursapa dengan teman kantorku, dan kadang makan siang bersama dengan mereka. Namun hari ini berbeda, laki-laki itu datang lagi. Kali ini ia mengajakku makan siang bersama di kantin kantor. Aku sempat menolak ajakannya, namun ia terus memaksaku hingga akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Selama kurang lebih lima belas menit berada di meja makan, kami hanya berdiam. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut kami.Hingga akhirnya ia memecah keheningan ini dengan pertanyaan “Lo udah punya pacar belum Dit?”Aku yang saat itu sedang mengunyah makanan, hampir saja mengeluarkan makanan yang masih setengah hancur itu di dalam mulut. “Hah? Apaan sih lo. Ga penting banget deh nanyanya.”“Loh kok ga penting? Gue kan cuma nanya, tinggal lo jawab aja punya atau engga. Gampang kan?”Aku tak selera lagi dengan makananku, aku langsung meninggalkan meja makan dan keluar dari kantin. Aku mendengar seperti ada suara memanggilku. Aku tak menghiraukan suara itu dan semakin mempercepat langkahku. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, aku selalu merasa geram setiap mendengar pertanyaan semacam itu.Sejak kejadian itu, ia terus berusaha untuk mendekatiku. Deva terus berusaha mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu. Hingga akhirnya aku pun bosan dengan pertanyaan yang hampir setiap hari terus menerus sama. Mau tidak mau, aku menjawab pertaannyan yang entah mengapa selalu membuatku geram.Sejak ia tau bahwa tak ada laki-laki yang sedang bersamaku, ia semakin sering mengajakku makan siang, mengantarkanku pulang ke rumah, serta tidak segan-segan membantu pekerjaan kantorku yang aku rasa sulit. Entah apa yang membuatku mau untuk didekati olehnya, tak biasanya aku bisa seperti ini kepada laki-laki asing dalam hidupku. Aku memang bukan wanita yang mudah didekati oleh laki-laki, sekalipun ia sangat baik kepadaku. Namun entah mengapa hal itu tidak berlaku pada Deva, laki-laki yang sudah mulai dekat denganku selama kurang lebih enam bulan.Tepat tanggal 23 Februari 2013, di sebuah cafe yang bisa disebut sebagai cafe romantis, Deva mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya.“Dit, aku sayang sama kamu. Kamu mau ga jadi pacar aku?”Sejenak aku terdiam, tak ada kata yang mampu aku ungkapkan. Entah apa yang aku rasakan saat itu. Jantungku berdetak begitu cepat dan aku tak mampu berkata-kata, hingga Deva mengulang pertanyaannya kembali.“Dit, kok diem? Kamu mau ga jadi pacar aku?”“I….iya Dev, aku mau.”Terlihat sangat jelas di wajahnya senyuman lepas tanda bahagia. Tak tahu kenapa aku ikut merasa bahagia, aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku, senyuman lebar terpampang jelas di wajahku.Dua tahun kami jalani sebagai partner kerja dan sepasang kekasih. Segalanya telah kami lewati, sedih bahagia, suka duka, tangis tawa telah ku lewati bersamanya. Meski terkadang terasa lelah saat menjalani bersamanya, namun selalu ada hal yang selalu membuat kami bertahan untuk tetap bersama. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Ketika dua insan selalu berusaha untuk tetap bertahan apapun rintangan dan bagaimanapun keadaannya.Hingga di hari yang tak ku duga, pada tanggal 14 Februari 2015 ia mengatakan bahwa tepat tujuh hari ke depan dari sekarang, ia akan datang ke rumahku dan meminta izin pada ke dua orang tuaku untuk menikahiku, yang berarti adalah melamarku untuk menjadi istrinya. Sungguh pertanyaan yang membuat jantungku kembali berdetak begitu cepat seperti kejadian dua tahun lalu. Karena ia tahu bahwa ke dua orang tuaku tidak berada di Jakarta, sehingga ia memintaku untuk mempersiapkan segalanya termasuk membawa orang tuaku ke Jakarta.
Setelah Deva menyatakan bahwa ia akan melamarku, aku langsung menghubungi ke dua orang tuaku yang berada di Surabaya untuk datang ke Jakarta. Dua hari kemudian, orang tuaku pun datang ke Jakarta dan menyampaikan perasaannya bahwa ia sangat senang karena akhirnya aku akan dipersunting oleh laki-laki yang aku cintai. Begitupun denganku, tak ada kata yang mampu mengungkapkan betapa bahagianya hatiku saat itu.Tepat tanggal 21 Februari 2015, Deva bersama keluarganya datang ke rumah kontrakanku dan bertemu ke dua orang tuaku dengan maksud untuk meminta izin menjadikanku istrinya. Aku tahu perasaannya sangat gugup saat itu, namun ia berusaha untuk bersikap sewajarnya agar segalanya berjalan lancar. Tanggal 21 Februari 2015, aku resmi dilamar oleh laki-laki yang sangat aku cintai. Keluarga kami pun sepakat untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 23 Mei 2015 yang bertepatan dengan hari ulang tahunku.
Sejak saat Deva melamarku, kami sudah mulai mempersiapkan segalanya. Mulai dari gedung, gaun pengantin, katering, undangan, dan semua kebutuhan yang menyangkut pernikahan kami. Tak bisa ku sembunyikan lagi perasaan bahagia ini, setelah Deva melamarku, aku merasa semakin bahagia. Aku merasa menemukan serpihan yang hilang dalam diriku sejak aku bersamanya. Aku sangat beruntung bisa bersamanya hingga saat ini, dan sebentar lagi ia akan menjadi pendamping hidupku selamanya. Menjalani hidup bersama anak-anak yang sangat lucu, membesarkan mereka hingga nantinya mereka juga akan menemukan pendamping hidup yang mereka cintai, menjalani hidup hingga akhirnya aku atau dirinya yang akan dipanggil terlebih dahulu oleh Tuhan. Ya, semoga.Dua minggu sebelum hari H, seluruh persiapan pernikahan kami sudah hampir matang. Hanya tinggal beberapa undangan saja yang belum tersebar. Tinggal menghitung hari ia akan menjadi pendamping hidupku. Menjadi imam dalam keluargaku, menjadi ayah untuk anak-anakku kelak.Karena ke dua keluarga kami merupakan keluarga yang berasal dari Jawa, maka kami tetap menggunakan adat Jawa sebelum pernikahan berlangsung, yaitu dipingit. Rasanya pasti akan sangat sulit untuk tidak bertemu dan sama sekali tidak berkomunikasi dalam satu minggu. Pasti rasanya akan rindu sekali.Sepuluh hari sebelum pernikahan kami, kami masih melakukan aktifitas seperti biasa. Tetap dengan aktifitas di kantor. Namun hari itu aku tak dapat masuk ke kantor karena tubuhku demam, mungkin karena terlalu takut sekaligus bahagiaa bahwa sebentar lagi akan menikah, entahlah. Hanya Deva yang masuk kantor hari itu. Tak tahu kenapa, sekitar pukul lima sore demamku menjadi semakin tinggi, perasaanku pun tak enak. Tak biasanya aku sakit hingga seperti ini. Padahal ibuku sudah membawaku ke klinik pagi tadi. Ya, ibuku memang sudah satu bulan di Jakarta untuk menemaniku menuju hari bahagiaku nanti. Hingga tak lama setelah demamku semakin meninggi, aku mendapatkan telefon dari teman sekantorku yang juga teman dari Deva. Ia memberitahuku bahwa Deva kecelakaan dan nyawanya tidak dapat diselamatkan.
“Dit, Deva kecelakaan tabrak lari ga jauh dari kantor. Dia meninggal di tempat.”“Hah? Lo pasti bohong kan? Ga mungkin, orang tadi sebelum pulang dia masih sms gue kok.”“Ga mungkin gue bohong soal ginian Dit, gue serius. Lo yang tabah ya.”Mendengar kabar itu, jantungku seperti berhenti berdetak. Tak ada lagi kata yang bisa ku ucap selain air mata yang mengucur deras dari mataku hingga akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi. Aku seperti berada di sebuah tempat yang indah bersama Deva, kami menghabiskan waktu bersama hingga tiba-tiba Deva melepas genggaman tangannya dariku dan perlahan pergi meninggalkanku. Aku terus memanggil namanya, hingga aku harus berteriak dan mengejarnya namun ia tetap tak menghiraukanku, ia berjalan semakin cepat hingga aku tak dapat lagi melihatnya.Hingga aku tersadar bahwa semua itu hanya mimpi, dan saat aku terbangun aku sudah berada di ruangan yang terlihat seperti kamar rumah sakit. Ya, aku sudah berada di rumah sakit. Sepertinya, tadi aku pingsan hingga ibuku membawaku ke rumah sakit dengan dibantu tetanggaku. Aku terus menanyakan di mana Deva, aku yakin ia masih ada, ia masih hidup. Tidak mungkin ia meninggalkanku, aku tau ia sangat mencintaiku. Tidak mungkin ia tak ada di saat aku sakit seperti ini, apa lagi sebentar lagi kami akan menikah. Tidak mungkin ia meninggalkanku, tidak mungkin!
“Devaaaaa!!! Devaaaaaa kamu di manaaaa?”Ibuku berusaha untuk menenangkanku, ia tak mau melihat putrinya terus menerus seperti ini.“Tenang nak, tenang. Kamu jangan teriak-teriak seperti itu, kamu masih sakit.”“Deva mana bu? Deva mana? Kenapa dia ga ada di saat aku sakit kaya gini?”“Sabar naak, kamu harus sabar. Kamu harus terima kenyataan. Kamu harus terima kalau Deva udah ga ada.”“Engga bu ga mungkin! Deva masih ada, tadi aku liat dia, kita jalan-jalan bareng di tempat yang indah buuu.”Ibuku langsung memelukku erat untuk menenangkanku. Bukan hanya aku yang menangis, ia juga menangis karena melihat keadaan putrinya yang seperti ini. Selama dua hari di rumah sakit, hanya menangis lah yang bisa aku lakukan. Tak ada makanan yang masuk ke dalam mulutku sedikitpun, rasanya tak nafsu sama sekali. Namun aku terus menerus disuntik agar tetap mendapatkan asupan obat, karena obatpun sama sekali tak tersentuh olehku. Berkali-kali ibuku berusaha membujukku agar aku bisa makan dan minum obat, namun hal itu sama sekali tidak berhasil. Hanya Deva yang ku butuhkan saat ini.Aku tahu, bukan hanya aku yang sangat terpukul atas kepergian Deva, orang tua Deva serta keluarganya juga pasti merasa sangat terpukul. Namun mereka mengerti bagaimana kondisiku saat itu sehingga aku tidak bisa datang saat pemakaman Deva. Ya, karena saat itu aku masih terbaring lemah di rumah sakit.Setelah dua hari di rumah sakit, aku pun diperbolehkan pulang oleh dokter karena demamku sudah turun. Hanya saja aku dianjurkan untuk tetap meminum obat agar demamku tidak naik lagi. Aku pulang dengan diantarkan oleh keluargaku. Sejak kejadian dua hari lalu, ayah dan adikku memang langsung datang ke Jakarta untuk menjagaku. Setibanya di rumah, aku juga masih belum mau makan. Ibuku sangat prihatin melihat kondisiku yang seperti ini. Aku juga tak tega melihatnya menangis karena melihat keadaanku, akhirnya aku pun memaksakan diri untuk memasukkan sedikit makanan ke dalam mulutku. Hasilnya, hanya dua suap nasi yang bisa masuk ke dalam mulutku, namun aku memaksakan diri untuk mau meminum obat. Demi ibuku, demi keluargaku.Tiga hari setelah kepulanganku dari rumah sakit, orang tua Deva datang mengunjungiku ke rumah. Mereka turut mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepadaku atas kepergian Deva. Meski aku tahu, bahwa mereka juga masih dirundung duka atas kepergian Deva yang sangat mendadak ini. Apa lagi mengingat bahwa tinggal beberapa hari lagi kami akan menikah. Namun semua impian itu harus sirna, impian yang sudah ku rajut bersamanya untuk bisa hidup bersama, untuk bisa membesarkan anak-anak kami bersama. Semua itu harus pupus karena takdir. Ternyata Tuhan memiliki rencana lain, ia mengambil Deva sebelum kami memulai semua mimpi-mimpi itu. Semua undangan yang sudah disebar, gedung dan katering yang sudah dipesan, terpaksa dibatalkan. Mimpiku untuk menjadi nyonya Kusuma pun sirna sudah.Hampir selama satu bulan aku tak mengerjakan aktifitasku seperti biasa, hanya berdiam diri di kamar dan tak keluar rumah sama sekali. Hingga akhirnya ibuku mengingatkan bahwa aku tidak bisa terus menerus hidup seperti ini, aku harus melanjutkan hidupku meski tanpa Deva. Sangat berat memang, untuk bersikap biasa saja di balik duka mendalam yang masih aku rasakan. Aku pun memutuskan untuk memulai hidup baruku, aku menghindari segala hal yang berhubungan dengan Deva. Bukan karena aku mau melupakannya, hanya saja aku tidak ingin terus menerus berada dalam duka.
Aku memutuskan untuk memulai hidup baru dengan keluar dari kantorku yang lama, karena aku tahu sudah terlalu banyak kenangan yang aku lalui bersama Deva di sana. Aku berusaha menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan. Tak lama setelah aku menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan, aku diterima bekerja di perusahaan yang cukup besar, namun tidak seperti kantorku yang lama, kali ini jaraknya cukup jauh dari rumahku. Aku perlu berkali-kali naik angkutan umum untuk bisa sampai di kantorku yang baru. Namun semua itu aku terima demi memulai hidupku yang baru.
Aku berusaha untuk bekerja seperti biasa, aku berusaha untuk tetap profesional dalam pekerjaan bagaimanapun keadaannya. Karena perusahaan tidak mau tahu apa yang aku rasakan, yang perusahaan tahu adalah bagaimana aku bisa bekerja dengan baik dan memberikan keuntungan bagi mereka. Seiring berjalannya waktu, lambat laun aku mulai bisa mengubur kesedihanku. Berkat kesibukanku di kantor, aku hampir tak punya waktu untuk memikirkan kesedihanku.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan laki-laki bernama Erlangga. Ia adalah temanku di kantor. Ia mulai mendekatiku seperti Deva mendekatiku dulu. Awalnya aku sama sekali tak tertarik dengannya, rasanya aku masih belum mau untuk kembali menjalin hubungan dengan laki-laki baru. Tapi aku harus melanjutkan hidupku, aku harus bisa mencari pengganti Deva. Deva memang sudah tidak ada, tapi sosoknya tak akan pernah hilang dari hati dan ingatanku, meskipun akan ada laki-laki baru dalam hidupku.
Erlangga terus mendekatiku selama enam bulan hingga akhirnya ia menyatakan cintanya kepadaku. Namun aku tak bisa langsung menjawab pertanyaannya untuk bisa menerimanya menjadi kekasih. Kurang lebih satu minggu aku berfikir, dan tentunya meminta pendapat dari ibuku. Haruskah aku menerimanya untuk menggantikan Deva. Ibuku mendukung jika memang ada laki-laki baru yang akan menjadi kekasihku. Apa lagi jika melihat keseriusannya yang sangat sabar mendekatiku hingga enam bulan lamanya, sama seperti Deva dulu. Satu minggu setelah Elang menyatakan cintanya kepadaku aku pun memberanikan diri untuk menerima cintanya. Elang memang nama biasa ia disapa.
Satu tahun sudah aku menjalani kebersamaan dengan Elang. Hingga tiba-tiba ia memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya di sebuah restoran tempat biasa kami makan. Aku sungguh kaget, rasanya seperti tak percaya. Rasanya masih sangat baru kami menjalani hubungan ini dan Elang sudah melamarku. Aku tahu, aku harus menerimanya sebagai calon suamiku. Aku tahu Elang sangat mencintaiku, ia pun selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku selama satu tahun terakhir ini. Ia juga yang sudah berhasil menghapus luka di hatiku akibat kepergian Deva. Tiga bulan setelah melamarku, kami pun melangsungkan pernikahan. Aku merasa sangat bahagia bisa menjadi pendamping hidupnya.

Aku tahu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan makhlukNya. Walau aku harus merasakan luka yang begitu dalam, aku tahu Ia telah menyiapkan rencana indah melalui pertemuanku dengan malaikat tanpa sayap yaitu Elang


.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar