Aku
terbangun dari mimpi indahku. Satu minggu lagi namaku berubah
menjadi nyonya Kusuma. Dita Ariyanti seorang gadis yang terkadang labil
sebentar lagi akan menikah. Ah, masih teringat jelas dalam anganku kejadian dua
tahun lalu. Saat ia mengungkapkan isi hatinya bahwa ia mencintaiku dan
memintaku untuk menjadi kekasihnya. Tanpa fikir panjang, aku mengiyakan
permintaannya. Karena aku tau betul bagaimana ia memperjuangkan cintanya
kepadaku selama hampir enam bulan. Ia terus berusaha menghubungiku, membuka
percakapan, mengajakku kencan, semua itu ia lakukan demi mendapatkan hatiku.
Aku tidak pernah berfikir bahwa laki-laki yang pernah aku tolak cintanya hingga
lima kali itu
sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.
Berawal
dari pertemuan singkat di lobby kantor, sepertinya ia mulai menaruh perasaan
padaku. Pertemuan kami menjadi sangat sering tatkala kami dipertemukan dalam
sebuah rapat di kantor. Dalam rapat itu, mata coklatnya selalu tertuju
kepadaku, bahkan tak jarang tatapan kami saling bertabrakan di tengah rapat
yang sedang berlangsung. Entah mengapa tak ada goncangan sedikitpun dari dalam
hatiku ketika mata kami saling bertemu. Menurutku, tak ada yang spesial
darinya. Tak ada yang menarik bagiku, mungkin karna ia bukan tipeku.Setiap
hari ku habiskan hampir setengah hidupku di kantor. Kantor yang membuatku
terkadang lupa untuk pulang. Kantor yang membuatku lupa untuk menghibur diriku
sendiri. Hampir tak ada waktu untukku sejenak berlibur. Sabtu dan Minggu yang
banyak orang bilang adalah weekend buatku sama saja. Aku tetap harus
menyelesaikan pekerjaan kantorku di rumah. Entah apa yang membuatku mampu
menjalani hal ini hingga satu tahun lamanya. Menyelesaikan semuanya dalam
kesendirian, tanpa keluarga, tanpa orang tua, dan tanpa kekasih.Kekasih?
Tiba-tiba aku teringat pertanyaan ibuku di ujung telfon minggu lalu.“Kamu
kapan nikah nak? Mbok yo jangan kerja terus toh, kamu kan perempuan. Carilah
laki-laki yang mau kerja untukmu nak.”Mendengar
pertanyaan itu, hati ini serasa seperti tenggorokan yang tersedak makanan. Aku
hampir tak bisa menjawabnya. Ya, memang sudah hampir dua tahun ku habiskan
hidupku dengan kesendirian ini. Tanpa kekasih, tanpa laki-laki di sampingku.
Buatku, tak ada yang lebih penting selain bisa memberikan sedikit hasil kerja
kerasku kepada keluarga yang berada jauh di kota pahlawan sana. Sejak lulus
kuliah, aku memang memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota. Aku mencoba
peruntunganku sebagai sarjana ekonomi di berbagai perusahaan di Jakarta.
Syukurlah, belum satu bulan aku tinggal di kota sejuta umat ini, aku sudah
mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan yang sudah cukup terkenal di
ibukota. Jabatanku memang hanya seorang accounting,
tapi aku sangat mencintai pekerjaanku.Hingga
tak terasa satu tahun sudah aku menjalani pekerjaan yang sangat aku cintai ini.
Bahkan mungkin beberapa orang menganggap aku sangat gila dengan pekerjaanku.
Karena aku sering menghabiskan waktuku di kantor hingga pukul sembilan malam
hanya untuk menyelesaikan pekerjaan kantorku. Sungguh bukan waktu yang baik
untuk seorang wanita sepertiku untuk pulang ke kontrakan. Tak jarang, satpam kantor menegurku “Neng, jam segini baru pulang? Emangnya ga takut ada preman?” aku hanya membalas
pertanyaan itu dengan senyuman.Saat
aku sedang berjalan menuju stasiun yang jaraknya tak jauh dari kantorku,
tiba-tiba saja ada suara yang masuk ke dalam gendang telingaku “Ditaaa!!” aku
seperti mengenali suara itu, suara berat nan berwibawa yang sering mendapatkan
pujian saat rapat di kantor. Laki-laki itu adalah Deva Kusuma. Teman sekantorku
yang sudah hampir dua minggu ini memberikan senyum dan tatapan yang berbeda
setiap kali bertemu denganku.Mendengar
suara itu, aku hanya menolehkan kepalaku ke belakang selama tak lebih dari lima
detik. Aku tahu bahwa itu dirinya, aku terus melanjutkan langkahku menyusuri
jalan setapak berwarna hitam putih ini. Namun suara itu kembali menggetarkan
gendang telingaku, aku pun menghentikan langkahku sejenak hanya untuk menjawab
suara itu “Apaan sih?” laki-laki itu langsung menarik gas sepeda motornya dan
menghampiri tepat di sisi kanan tubuhku “Bareng yuk, dari pada lo pulang
sendirian udah malem gini.” Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai tanda
penolakan, namun ia terus membujukku untuk dapat pulang bersamanya. Tak tahu
kenapa, hati ini luluh mendengar bujukannya. Mungkin karena saat itu aku sudah
sangat lelah seharian bekerja dan ingin cepat sampai di rumah.Setelah
sampai di depan rumah kontrakanku, ia berkata “Kalo pulang bareng gue
aja ya, jangan sendirian. Bahaya.” Aku hanya mengacuhkan pesan singkatnya itu
dan langsung berjalan menuju pintu rumahku. Aku tak lagi memikirkan apa yang
baru saja terjadi barusan. Aku langsung membersihkan tubuhku setelah seharian
tak mendapatkan perhatian akibat pekerjaan yang begitu banyak di kantor. Tak
ada lagi yang ingin ku lakukan di rumah selain beristirahat. Hanya rumah
kontrakan kecil inilah tempatku biasa melabuhkan mimpi-mimpi. Tiba-tiba
terlintas pertanyaan dalam benak, kapan aku bisa pindah dari rumah kecil ini ke
rumah yang lebih besar dan membangun mimpi bersama lelaki idamanku. Ah
sudahlah! Apa yang aku fikirkan? Aku harus segera tidur karena besok aku masih
harus melanjutkan hidupku dengan segudang pekerjaan di kantor.Seperti
biasa, pagiku selalu dihabiskan untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Masih
dengan kendaraan yang sama setiap harinya, angkot dan kereta listrik commuter line dengan harga yang sangat
murah. Aku hanya butuh mengeluarkan uang empat ribu rupiah untuk bisa sampai di
kantor. Bukan uang yang besar jika dibandingkan dengan penghasilanku setiap
bulannya. Aku lebih memilih menggunakan angkutan umum dari pada harus
mengendarai sepeda motor setiap hari dan berjibaku dengan kemacetan ibukota.
Rasanya aku tak sanggup.Hari
ini, aku kembali dengan rutinitasku. Menyelesaikan pekerjaan di kantor, rapat,
sekadar bertegursapa dengan teman kantorku, dan kadang makan siang bersama
dengan mereka. Namun hari ini berbeda, laki-laki itu datang lagi. Kali ini ia
mengajakku makan siang bersama di kantin kantor. Aku sempat menolak ajakannya,
namun ia terus memaksaku hingga akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Selama
kurang lebih lima belas menit berada di meja makan, kami hanya berdiam. Tak ada
satu patah kata pun yang keluar dari mulut kami.Hingga
akhirnya ia memecah keheningan ini dengan pertanyaan “Lo udah punya pacar belum
Dit?”Aku
yang saat itu sedang mengunyah makanan, hampir saja mengeluarkan makanan yang
masih setengah hancur itu di dalam mulut. “Hah? Apaan sih lo. Ga penting banget
deh nanyanya.”“Loh
kok ga penting? Gue kan cuma nanya, tinggal lo jawab aja punya atau engga.
Gampang kan?”Aku
tak selera lagi dengan makananku, aku langsung meninggalkan meja makan dan
keluar dari kantin. Aku mendengar seperti ada suara memanggilku. Aku tak
menghiraukan suara itu dan semakin mempercepat langkahku. Aku tak tahu apa yang
terjadi pada diriku, aku selalu merasa geram setiap mendengar pertanyaan
semacam itu.Sejak kejadian itu, ia terus
berusaha untuk mendekatiku. Deva terus berusaha mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya itu. Hingga akhirnya aku pun bosan dengan pertanyaan yang hampir
setiap hari terus menerus sama. Mau tidak mau, aku menjawab pertaannyan yang
entah mengapa selalu membuatku geram.Sejak ia tau bahwa tak ada
laki-laki yang sedang bersamaku, ia semakin sering mengajakku makan siang,
mengantarkanku pulang ke rumah, serta tidak segan-segan membantu pekerjaan
kantorku yang aku rasa sulit. Entah apa yang membuatku mau untuk didekati
olehnya, tak biasanya aku bisa seperti ini kepada laki-laki asing dalam
hidupku. Aku memang bukan wanita yang mudah didekati oleh laki-laki, sekalipun
ia sangat baik kepadaku. Namun entah mengapa hal itu tidak berlaku pada Deva,
laki-laki yang sudah mulai dekat denganku selama kurang lebih enam bulan.Tepat tanggal 23 Februari 2013, di sebuah cafe yang bisa disebut sebagai cafe romantis, Deva mengungkapkan isi
hatinya kepadaku. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya.“Dit, aku sayang sama kamu. Kamu mau ga jadi pacar aku?”Sejenak aku terdiam, tak ada kata yang mampu aku
ungkapkan. Entah apa yang aku rasakan saat itu. Jantungku berdetak begitu cepat
dan aku tak mampu berkata-kata, hingga Deva mengulang pertanyaannya kembali.“Dit, kok diem? Kamu mau ga jadi pacar aku?”“I….iya Dev, aku mau.”Terlihat sangat jelas di wajahnya senyuman lepas tanda
bahagia. Tak tahu kenapa aku ikut merasa bahagia, aku tak bisa menyembunyikan
kebahagiaanku, senyuman lebar terpampang jelas di wajahku.Dua tahun kami jalani
sebagai partner kerja dan sepasang kekasih. Segalanya telah kami lewati, sedih
bahagia, suka duka, tangis tawa telah ku lewati bersamanya. Meski terkadang
terasa lelah saat menjalani bersamanya, namun selalu ada hal yang selalu
membuat kami bertahan untuk tetap bersama. Mungkin ini yang dinamakan cinta.
Ketika dua insan selalu berusaha untuk tetap bertahan apapun rintangan dan
bagaimanapun keadaannya.Hingga di hari yang tak ku
duga, pada tanggal 14 Februari 2015 ia mengatakan bahwa tepat tujuh hari ke
depan dari sekarang, ia akan datang ke rumahku dan meminta izin pada ke dua
orang tuaku untuk menikahiku, yang berarti adalah melamarku untuk menjadi istrinya.
Sungguh pertanyaan yang membuat jantungku kembali berdetak begitu cepat seperti
kejadian dua tahun lalu. Karena ia tahu bahwa ke dua orang tuaku tidak berada
di Jakarta, sehingga ia memintaku untuk mempersiapkan segalanya termasuk membawa
orang tuaku ke Jakarta.
Setelah Deva menyatakan
bahwa ia akan melamarku, aku langsung menghubungi ke dua orang tuaku yang
berada di Surabaya untuk datang ke Jakarta. Dua hari kemudian, orang tuaku pun
datang ke Jakarta dan menyampaikan perasaannya bahwa ia sangat senang karena
akhirnya aku akan dipersunting oleh laki-laki yang aku cintai. Begitupun
denganku, tak ada kata yang mampu mengungkapkan betapa bahagianya hatiku saat
itu.Tepat tanggal 21 Februari
2015, Deva bersama keluarganya datang ke rumah kontrakanku
dan bertemu ke dua orang tuaku dengan maksud untuk meminta izin menjadikanku
istrinya. Aku tahu perasaannya sangat gugup saat itu, namun ia berusaha untuk
bersikap sewajarnya agar segalanya berjalan lancar. Tanggal 21 Februari 2015,
aku resmi dilamar oleh laki-laki yang sangat aku cintai. Keluarga kami pun
sepakat untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 23 Mei 2015 yang bertepatan
dengan hari ulang tahunku.
Sejak saat Deva melamarku,
kami sudah mulai mempersiapkan segalanya. Mulai dari gedung, gaun pengantin,
katering, undangan, dan semua kebutuhan yang menyangkut pernikahan kami. Tak
bisa ku sembunyikan lagi perasaan bahagia ini, setelah Deva melamarku, aku
merasa semakin bahagia. Aku merasa menemukan serpihan yang hilang dalam diriku
sejak aku bersamanya. Aku sangat beruntung bisa bersamanya hingga saat ini, dan
sebentar lagi ia akan menjadi pendamping hidupku selamanya. Menjalani hidup
bersama anak-anak yang sangat lucu, membesarkan mereka hingga nantinya mereka
juga akan menemukan pendamping hidup yang mereka cintai, menjalani hidup hingga
akhirnya aku atau dirinya yang akan dipanggil terlebih dahulu oleh Tuhan. Ya,
semoga.Dua minggu sebelum hari H, seluruh
persiapan pernikahan kami sudah hampir matang. Hanya tinggal beberapa undangan
saja yang belum tersebar. Tinggal menghitung hari ia akan menjadi pendamping
hidupku. Menjadi imam dalam keluargaku, menjadi ayah untuk anak-anakku kelak.Karena ke dua keluarga kami
merupakan keluarga yang berasal dari Jawa, maka kami tetap menggunakan adat
Jawa sebelum pernikahan berlangsung, yaitu dipingit. Rasanya pasti akan sangat
sulit untuk tidak bertemu dan sama sekali tidak berkomunikasi dalam satu
minggu. Pasti rasanya akan rindu sekali.Sepuluh hari sebelum
pernikahan kami, kami masih melakukan aktifitas seperti biasa. Tetap
dengan aktifitas di kantor.
Namun hari itu aku tak dapat masuk ke kantor karena tubuhku demam, mungkin
karena terlalu takut sekaligus bahagiaa bahwa sebentar lagi akan menikah,
entahlah. Hanya Deva yang masuk kantor hari itu. Tak tahu kenapa, sekitar pukul
lima sore demamku menjadi semakin tinggi, perasaanku pun tak enak. Tak biasanya
aku sakit hingga seperti ini. Padahal ibuku sudah membawaku ke klinik pagi
tadi. Ya, ibuku memang sudah satu bulan di Jakarta untuk menemaniku menuju hari
bahagiaku nanti. Hingga tak lama setelah demamku semakin meninggi, aku
mendapatkan telefon dari teman sekantorku yang juga teman dari Deva. Ia
memberitahuku bahwa Deva kecelakaan dan nyawanya tidak dapat diselamatkan.
“Dit, Deva kecelakaan tabrak lari ga jauh dari kantor. Dia meninggal di tempat.”“Hah? Lo
pasti bohong kan? Ga mungkin, orang
tadi sebelum pulang dia masih sms gue kok.”“Ga mungkin gue bohong soal ginian Dit, gue serius. Lo
yang tabah ya.”Mendengar kabar itu,
jantungku seperti berhenti berdetak. Tak ada lagi kata yang bisa ku ucap selain
air mata yang mengucur deras dari mataku hingga akhirnya aku tak ingat apa-apa
lagi. Aku seperti berada di sebuah tempat yang indah bersama Deva, kami menghabiskan
waktu bersama hingga tiba-tiba Deva melepas genggaman tangannya dariku dan
perlahan pergi meninggalkanku. Aku terus memanggil namanya, hingga aku harus
berteriak dan mengejarnya namun ia tetap tak menghiraukanku, ia berjalan
semakin cepat hingga aku tak dapat lagi melihatnya.Hingga aku tersadar bahwa
semua itu hanya mimpi, dan saat aku terbangun aku sudah berada di ruangan yang
terlihat seperti kamar rumah sakit. Ya, aku sudah berada di rumah sakit.
Sepertinya, tadi aku pingsan hingga ibuku membawaku ke rumah sakit dengan
dibantu tetanggaku. Aku terus menanyakan di mana Deva, aku yakin ia masih ada,
ia masih hidup. Tidak mungkin ia meninggalkanku, aku tau ia sangat
mencintaiku. Tidak mungkin ia tak ada di saat aku sakit seperti ini, apa lagi
sebentar lagi kami akan menikah. Tidak mungkin ia meninggalkanku, tidak
mungkin!
“Devaaaaa!!! Devaaaaaa kamu di manaaaa?”Ibuku berusaha untuk menenangkanku, ia tak mau melihat
putrinya terus menerus seperti ini.“Tenang nak, tenang. Kamu jangan teriak-teriak seperti
itu, kamu masih sakit.”“Deva mana bu? Deva mana? Kenapa dia ga ada di saat aku sakit kaya gini?”“Sabar naak, kamu harus sabar. Kamu harus terima
kenyataan. Kamu harus terima kalau Deva udah ga ada.”“Engga bu ga
mungkin! Deva masih ada, tadi aku liat dia, kita jalan-jalan bareng di tempat
yang indah buuu.”Ibuku langsung memelukku erat untuk menenangkanku.
Bukan hanya aku yang menangis, ia juga menangis karena melihat keadaan putrinya
yang seperti ini. Selama dua hari di rumah sakit, hanya menangis lah yang bisa
aku lakukan. Tak ada makanan yang masuk ke dalam mulutku sedikitpun, rasanya
tak nafsu sama sekali. Namun aku terus menerus disuntik agar tetap mendapatkan
asupan obat, karena obatpun sama sekali tak tersentuh olehku. Berkali-kali
ibuku berusaha membujukku agar aku bisa makan dan minum obat, namun hal itu
sama sekali tidak berhasil. Hanya Deva yang ku butuhkan saat ini.Aku tahu, bukan hanya aku
yang sangat terpukul atas kepergian Deva, orang tua Deva serta keluarganya juga
pasti merasa sangat terpukul. Namun mereka mengerti bagaimana kondisiku saat
itu sehingga aku tidak bisa datang saat pemakaman Deva. Ya, karena saat itu aku
masih terbaring lemah di rumah sakit.Setelah dua hari di rumah
sakit, aku pun diperbolehkan pulang oleh dokter karena demamku sudah turun.
Hanya saja aku dianjurkan untuk tetap meminum obat agar demamku tidak naik
lagi. Aku pulang dengan diantarkan oleh keluargaku. Sejak kejadian dua hari
lalu, ayah dan adikku memang langsung datang ke Jakarta untuk menjagaku.
Setibanya di rumah, aku juga masih belum mau makan. Ibuku sangat prihatin
melihat kondisiku yang seperti ini. Aku juga tak tega melihatnya menangis
karena melihat keadaanku, akhirnya aku pun memaksakan diri untuk memasukkan sedikit
makanan ke dalam mulutku. Hasilnya, hanya dua suap nasi yang bisa masuk ke
dalam mulutku, namun aku memaksakan diri untuk mau meminum obat. Demi ibuku,
demi keluargaku.Tiga hari setelah
kepulanganku dari rumah sakit, orang tua Deva datang mengunjungiku ke rumah.
Mereka turut mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepadaku atas
kepergian Deva. Meski aku tahu, bahwa mereka juga masih dirundung duka atas
kepergian Deva yang sangat mendadak ini. Apa lagi mengingat bahwa tinggal
beberapa hari lagi kami akan menikah. Namun semua impian itu harus sirna,
impian yang sudah ku rajut bersamanya untuk bisa hidup bersama, untuk bisa
membesarkan anak-anak kami bersama. Semua itu harus pupus karena takdir.
Ternyata Tuhan memiliki rencana lain, ia mengambil Deva sebelum kami memulai
semua mimpi-mimpi itu. Semua undangan yang sudah disebar, gedung dan katering
yang sudah dipesan, terpaksa dibatalkan. Mimpiku untuk menjadi nyonya Kusuma
pun sirna sudah.Hampir selama satu bulan aku
tak mengerjakan aktifitasku seperti biasa, hanya berdiam diri di kamar dan tak
keluar rumah sama sekali. Hingga akhirnya ibuku mengingatkan bahwa aku tidak
bisa terus menerus hidup seperti ini, aku harus melanjutkan hidupku meski tanpa
Deva. Sangat berat memang, untuk bersikap biasa saja di
balik duka mendalam yang
masih aku rasakan. Aku pun memutuskan untuk memulai hidup baruku, aku
menghindari segala hal yang berhubungan dengan Deva. Bukan karena aku mau
melupakannya, hanya saja aku tidak ingin terus menerus berada dalam duka.
Aku memutuskan untuk memulai
hidup baru dengan keluar dari kantorku yang lama, karena aku tahu sudah terlalu
banyak kenangan yang aku lalui bersama Deva di
sana. Aku berusaha
menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan. Tak lama setelah aku menyibukkan
diri dengan mencari pekerjaan, aku diterima bekerja di perusahaan yang cukup
besar, namun tidak seperti kantorku yang lama, kali ini jaraknya cukup jauh
dari rumahku. Aku perlu berkali-kali naik angkutan umum untuk bisa sampai di
kantorku yang baru. Namun semua itu aku terima demi memulai hidupku yang baru.
Aku berusaha untuk bekerja
seperti biasa, aku berusaha untuk tetap profesional dalam pekerjaan
bagaimanapun keadaannya. Karena perusahaan tidak mau tahu apa yang aku rasakan,
yang perusahaan tahu adalah bagaimana aku bisa bekerja dengan baik dan
memberikan keuntungan bagi mereka. Seiring berjalannya waktu, lambat laun aku
mulai bisa mengubur kesedihanku. Berkat kesibukanku di kantor, aku hampir tak
punya waktu untuk memikirkan kesedihanku.
Hingga akhirnya aku bertemu
dengan laki-laki bernama Erlangga. Ia adalah temanku di kantor. Ia mulai
mendekatiku seperti Deva mendekatiku dulu. Awalnya aku sama sekali tak tertarik
dengannya, rasanya aku masih belum mau untuk kembali menjalin hubungan dengan
laki-laki baru. Tapi aku harus melanjutkan hidupku, aku harus bisa mencari
pengganti Deva. Deva memang sudah tidak ada, tapi sosoknya tak akan pernah
hilang dari hati dan ingatanku, meskipun akan ada laki-laki baru dalam
hidupku.
Erlangga terus mendekatiku
selama enam bulan hingga akhirnya ia menyatakan cintanya kepadaku. Namun aku
tak bisa langsung menjawab pertanyaannya untuk bisa menerimanya
menjadi kekasih. Kurang
lebih satu minggu aku berfikir, dan tentunya meminta pendapat dari ibuku.
Haruskah aku
menerimanya untuk menggantikan Deva. Ibuku mendukung jika memang ada laki-laki
baru yang akan menjadi kekasihku. Apa lagi jika melihat keseriusannya yang
sangat sabar mendekatiku hingga enam bulan lamanya, sama seperti Deva dulu.
Satu minggu setelah Elang menyatakan cintanya kepadaku aku pun memberanikan
diri untuk menerima cintanya. Elang memang nama biasa ia disapa.
Satu tahun sudah aku
menjalani kebersamaan dengan Elang. Hingga tiba-tiba ia memintaku untuk menjadi
pendamping hidupnya di sebuah restoran tempat biasa kami makan. Aku sungguh
kaget, rasanya seperti tak percaya. Rasanya masih sangat baru kami menjalani
hubungan ini dan Elang sudah melamarku. Aku tahu, aku harus menerimanya sebagai
calon suamiku. Aku tahu Elang sangat mencintaiku, ia pun selalu berusaha
memberikan yang terbaik untukku selama satu tahun terakhir ini. Ia juga yang
sudah berhasil menghapus luka di hatiku akibat kepergian Deva. Tiga bulan
setelah melamarku, kami pun melangsungkan pernikahan. Aku merasa sangat bahagia
bisa menjadi pendamping hidupnya.